Saturday, September 10

(Lack of) Gratitude

Hari Kamis pagi tanggal 9 September 2016, saya menuju RSU kota Tangerang Selatan untuk mengurus segala berkas administrasi yang diperlukan untuk melamar kerja di sebuah instansi. Administrasi yang diperlukan dari RS ini diantaranya ialah Surat Keterangan Sehat Jasmani dan Rohani, Surat bebas Narkoba dan Surat bebas Buta Warna. Pagi itu saya sampai pukul 07.05 , terlihat di depan RS sudah terjadi antrian yang panjang. Para pengunjung yang mengantri untuk mendapatkan nomor pendaftaran. 

Singkat cerita, setelah saya mendapatkan nomor pendaftaran, saya pun duduk di ruang tunggu untuk selanjutnya dipanggil oleh pegawai loket. Selama menunggu di ruang tunggu tersebut saya melihat sekeliling ruangan. Orang-orang dari tua-muda menunggu panggilan juga. Saya terusik dengan obrolan ibu-ibu di depan saya "Iya ini dari jam 3 pagi disini, kalau ga jam segitu, ga bakal dapat antrian". Ibu tersebut ingin menuju poli penyakit dalam yang memang di batasi kuota nya. Secara tidak sadar, saya bergumam dalam hati "ya Allah.. sampai segitunya banyak orang yang bela-belain kesini berobat dari jam 3 pagi". 

Setelah saya dipanggil oleh pegawai loket dan melakukan pembayaran, saya pun langsung bergegas ke lantai 4 dimana poli MCU (Medical Check-Up) berada. Poli MCU ini digunakan untuk mendapatkan surat Keterangan Sehat Jasmani dan bebas buta warna. Di poli MCU ini saya bertemu dengan asisten dokter MCU. Yang menarik perhatian saya adalah ia seorang laki-laki yang sangat murah senyum tetapi cara berjalannya tidak sempurna. Namun beliau tetap terlihat senang.

Di poli MCU ini saya di cek tensi terlebih dahulu oleh beliau karena dokternya belum datang. Katanya baru datang jam 09.00 . Saya pun disarankan oleh beliau untuk melakukan tes lab bebas narkoba terlebih dahulu di lantai 5 (poli Napza) atau boleh makan dulu lalu kembali lagi ke poli MCU. 

Selanjutnya saya menuju lantai 5, menyerahkan formulir pembayaran kemudian duduk di ruang tunggu menunggu dipanggil. Setelah dipanggil saya pun disuruh "buang air kecil" di pot yang sudah disediakan. Setelah itu, saya kira ada tes darah (padahal hanya tes urine), jadi saya menunggu di ruang tunggu. Selama duduk diruang tunggu tersebut saya mendengar obrolan laki-laki paruh baya dengan perempuan dewasa yang berkeluh kesah atas pelayanan RS yang dirasakan. 

Tiba-tiba seorang ibu disebelah saya mengajak saya ngobrol dengan membahas pelayanan rumah sakit. Ngalor ngidul pembicaraan, saya bertanya pada beliau "ibu mau kemana?"
beliau menjawab "saya nungguin anak saya abis operasi"
"operasi apa bu?" 
"pengangkatan kista, lagi pemulihan sih".

Singkat cerita anak beliau sudah berumur 40 tahun tetapi belum menikah, kistanya setiap hari semakin membesar, saat operasi pengangkatannya, kistanya hancur. Jadi ukurannya sangat besar.
Bergumam dalam hati saya "ya Allah.. terimakasih atas nikmat sehat yang diberikan"

Dari ibu ini saya dapat pengetahuan baru, kalau setiap orang pasti punya kista. Yang saya tangkap, bagaimana kita menjaga pola makan yang sehat agar kista tersebut tidak membesar.

Setelah menunggu cukup lama di poli Napza, saya memutuskan untuk bertanya kepada petugas poli, apa ada tes lainnya ? Mereka bilang tidak ada, hasil bisa diambil besok harinya. (Tau gituuuu yahhh.. langsung ke lantai 4 atau makan dulu! hehehe )

Saya pun langsung turun lantai menuju poli MCU, menunggu sebentar di depan poli Jiwa. Beberapa menit kemudian saya dipanggil oleh asisten dokter poli MCU, dokter bertanya tentang berbagai hal menyangkut kesehatan saya apa pernah di rawat inap dsb dsb.. Setelah selesai, dokter tersebut bertanya ke saya "Kamu cuma butuh surat sakit jasmani aja? rohani engga ?" 
Saya bilang, "iya dok, jasmani aja, emang biasanya gimana dok?" 
"Yah, gatau kan itu kamu yang tau butuhnya apa saja" 

Hmm, saya yang tadinya yakin hanya tes sehat jasmani saja menjadi ragu ditanya seperti itu. Saya mikir apa rohani juga ya? Yang saya ingat sih cuma jasmani aja ga ada rohani. Mau buka website instansi  yang membuka lowongan tersebut tapi saya lagi ga ada paket data. Hmm, jadi saya yakinkan aja hanya tes jasmani. Dokter tersebut bilang kalau pakai tes rohani itu berbeda poli soalnya. Ya, poli Jiwa yang harus kita tuju.

Dengan "kelupaan" saya bahwa tidak diperlukannya tes rohani tersebut, akhirnya saya keluar RS dan berangkat menuju kampus (tadinya) untuk meminta berkas administrasi lainnya. Sebelum saya keluar dari RS itu, saya sempat membeli pulsa terlebih dahulu. Di perjalanan di dalam angkot akhirnya saya membuka website yang dimaksud. Ternyata dibutuhkan tes rohani. Alamakkk! untung belum begitu jauh. Saya langsung turun dari angkot dan naik kembali angkot yang menuju ke RS. 

Saya mendaftar ulang, kali ini untuk tes rohani di poli Jiwa. Setelah membayar pendaftaran, saya memberikan formulir pembayaran kepada asisten dokter di poli Jiwa. Asisten tersebut memberikan saya note harus melakukan pembayaran lagi sebesar Rp 250.000.

Dalam hati saya bilang "Duh, uangnya gacukup lagi!" Akhirnya saya mencoba menghubungi ibu saya untuk minta tolong transfer uang sejumlah tersebut. Karena di RS ini jam kerja poli nya hanya sampai jam 11.00. Saya mulai panik, mepet banget waktunya. Setelah ibu saya transfer saya langsung melakukan pembayaran lagi dan kemudian langsung menuju ke poli Jiwa.

Saya sebenarnya agak aneh mendengar adanya poli Jiwa. Apa yang dilakukan dokter di dalam ruangan, kenapa bisa ada begitu banyak pasien di ruang tunggu yang kelihatannya normal-normal saja, yang maksud saya, poli Jiwa ini mungkin harusnya ada di bagian rumah sakit Jiwa. Tapi, saya mulai mengetahui setelah saya berada di dalam ruangan seperti apa fungsi dari poli ini.

Memasuki ruangan poli Jiwa, saya bertemu dengan dokter nya, singkat obrolan dia bertanya nama saya siapa, suratnya diperlukan untuk apa dan saya di berikan selembar kertas yang berisi 8 kotak gambar yang harus diteruskan (seperti tes gambar). Sembari saya mengerjakan gambar tersebut, dokter menerima pasiennya. Pasien pertama seorang pria kira-kira umurnya berkisar antara 35-40 tahun. Dokter bertanya bagaimana kabarnya dan menyarankan pasiennya untuk melakukan suntik. Dalam hati saya bilang " hahh, suntik apaan? kenapa ini orang?" Kemudian, dokter tersebut seperti memulai perbincangan pada pasien pertama yang intinya menanyakan sering stress atau tidak. Pasien tersebut bercerita kalau ia mempunyai bisnis takoyaki yang bukanya pada sore hari dan suka bermasalah dengan pedagang lain sehingga menyebabkan ia stress. Dokter selalu menenangkan dengan memberi motivasi, saran dsb. 

Saya masih sibuk dengan selembar kertas kotak gambar. Pasien kedua masuk ruangan. Kali ini pria muda dengan umur sekitar 20 tahun an. Secara fisik ia terlihat sehat bahkan sangat ceria. Dokter menanyakan bagaimana kabarnya. Beberapa menit kemudian dokter menanyakan luka yang terdapat pada tangan pasien kedua tersebut. Dokter bertanya apakah pasien tersebut memakai lagi.

Awalnya saya belum begitu "ngeh" apa yang dimaksud oleh dokter. Tetapi mengikuti alur perbincangan mereka saya mulai paham. Pria muda ini berusaha ingin sembuh. Lalu pembicaraan semakin jauh seperti mereka sama-sama mengetahui siapa-siapa saja yang bersangkutan dalam menjerumuskan si pasien, bagaimana pasien bisa mendapatkan barang dsb dsb.

Pasien kedua ini sampai-sampai berkata kalau Alhamdulillah orangtuanya masih sanggup untuk membiayai nya sampai ia "sembuh". Kurang lebih begitu.

Beberapa saat kemudian, pasien ketiga pun masuk. Kali ini entah sepasang suami isteri atau ibu anak. Yang kelihatan sakit adalah laki-lakinya. Wajahnya pucat pasi. Saya tidak tahu pasti ia kenapa karena tidak lama kemudian saya telah selesai mengerjakan tes gambar saya dan menunggu beberapa menit sampai surat yang saya perlukan jadi.

Setelah kelar semua urusan, saya pun keluar dari ruangan dan menuju lift untuk turun ke bawah. Sesuatu yang sebelumnya hanya saya lihat di sinetron atau film, kali ini saya melihat dengan mata kepala sendiri. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Seseorang baru saja meninggal dunia. Sudah terbaring dengan kain menutupi seluruh dirinya. Dengan keluarga disebelahnya menangis penuh haru. Sedang menunggu di depan lift.

Merinding.

Ntah kenapa saya lebih merinding melihat orang yang baru meninggal ditutupi kain dibanding seseorang yang sudah dikafani. Saat itu juga saya langsung teringat orang rumah ataupun diri saya sendiri. Bagaimana kalau saya ditinggalkan oleh ibu bapak saya? Atau bagaimana kalau saya  yang meninggal ? 

Secara tidak langsung saya teringat kembali kalau dunia ini memang hanya sementara. Kalau sudah meninggal dunia ya sudahh. Tidak bisa kita melakukan dan merasakan apa-apa lagi. 

Dari hari di RS itu saya belajar untuk banyak-banyak bersyukur. Dimulai dari nikmat sehat, keluarga yang masih utuh, teman-teman yang baik, masih bisa jalan-jalan, apapun itu yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.. (yang sebenarnya saya masih sulit untuk menerapkan rasa syukur itu sendiri). Berpikir juga bahwa masalah yang kita punya tidaklah seberapa dibandingkan masalah orang lain. Sadari sajalah kalau rezeki yang kita dapetin bukan hanya berbentuk materi semata. 


"Berbaring. Lalu berpikir berapa banyak doa (permintaan) yang sudah dijawab-Nya"


Xx,
sonia